Selasa, 16 April 2013

Sejarah Kerajaan Islam Banjar


Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam terbesar di Kalimantan yang dapat mempersatukan beberapa kerajaan kecil di wilayah Kalimantan seperti Kerajaan Paser dan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, Kerajaan Kotawaringin di Kalimantan Tengah, serta Kerajaan Qodriah, Kerajaan Landak, dan Kerajaan Mempawah di Kalimantan Barat. Kerajaan Banjar juga mempunyai sejarah cukup panjang, karena diawali dari masa yang jauh sebelum masuknya pengaruh Islam, yaitu masa yang ditandai dengan berdirinya Candi Laras dan Candi Agung pada masa Hindu-Budha. (httpbanuahujungtanah.wordpress.comcategorysejarah-banjar)
            Sesuai tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia Belanda pada 11 Juni 1860:
1.      Keraton awal disebut Kerajaan Kahuripan.
2.      Keraton I disebut Kerajaan Negara Jipa.
3.      Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha.
4.      Keraton III disebut Kesultanan Banjar.
5.      Keraton IV disebut Kerajaan Martapura
6.      Keraton V disebut Pagustian
            Kerajaan Islam Banjar merupakan salah satu kerajaan terbesar di Kalimantan. Hingga saat ini terdapat kontroversi di kalangan ahli sejarah mengenai kapan islam masuk ke Kalimantan Selatan. Paling tidak ada dua aliran besar tentang ini: Pertama kalangan yang mengatakan bahwa islam masuk sebelum pasukan demak tiba di Banjarmasin; kedua, golongan yang mengatakan bahwa islam masuk ke Kalimantan Selatan setelah Kerajaan Daha berhasil direbut oleh Pangeran Samudera bersamaan dengan pasukan militer Kerajaan Islam Demak. (Khairuzzaini,2011)
Sejarah berdirinya Kesultanan Banjar
            Penghuni  pertama  Kalimantan  Selatan  diperkirakan  terkonsentrasi  di  desa-desa  besar,  di kawasan  pantai  kaki  Pegunungan  Meratus  yang  lambat laun  berkembang  menjadi  kota-kota bandar  yang  memiliki  hubungan  perdagangan  dengan  India  dan  Cina.  Dalam perkembangannya, konsentrasi penduduk juga terjadi di aliran Sungai Tabalong. Pada abad ke 5  M,  diperkirakan  telah  berdiri  Kerajaan  Tanjungpuri  yang  berpusat  di  Tanjung,  Tabalong. Jauh  beberapa  abad  kemudian,  orang-orang  Melayu  dari  Sriwijaya  banyak  yang  datang  ke kawasan  ini.  Mereka  memperkenalkan  bahasa  dan  kebudayaan  Melayu  sambil  berdagang. Selanjutnya,  kemudian  terjadi  asimilasi  dengan  penduduk  tempatan  yang  terdiri  dari  suku Maanyan, Lawangan dan Bukit. Maka, kemudian berkembang bahasa Melayu yang bercampur dengan  bahasa  suku-suku  daerah  tempatan,  yang  kemudian  membentuk  bahasa  Banjar Klasik. (httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf)
            Untuk mengetahui sejarah Banjar lebih lanjut, historiografi tradisional masyarakat tempatan sangat  banyak  membantu.  Di  antara  sumber  yang  paling  populer  adalah Hikayat  Lambung Mangkurat, atau Hikayat Banjar. Berdasarkan sumber tersebut, di daerah Banjar telah berdiri Kerajaan Hindu, yaitu Negara Dipa yang berpusat di Amuntai. Kemudian berdiri Negara Daha yang berpusat di daerah  sekitar Negara sekarang. Menurut Hikayat Banjar tersebut, Negara Dipa adalah kerajaan pertama di Kalimantan Selatan. (httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf)
            Cikal  bakal  Raja  Dipa  bisa  dirunut  dari  keturunan  Aria  Mangkubumi.  Ia  adalah  seorang saudagar  kaya, tapi  bukan keturunan raja. Oleh sebab itu, berdasarkan sistem kasta dalam Hindu,  ia  tidak  mungkin  menjadi  raja.  Namun,  dalam pratiknya,  ia  memiliki  kekuasaan dan pengaruh  yang  dimiliki  oleh  seorang  raja. Ketika  ia  meninggal,  penggantinya  adalah  Ampu Jatmika, yang kemudian menjadi raja pertama Negara Dipa. Untuk menutupi kekurangannya yang  tidak  berasal  dari  keturunan  raja,  Jatmika  kemudian  banyak  mendirikan  bangunan, seperti candi, balairung, kraton dan arca berbentuk laki-laki dan perempuan yang ditempatkan di candi. Segenap warga Negara Dipa diwajibkan menyembah arcaini.(httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf)
            Ketika Ampu Jatmika meninggal dunia, ia berwasiat agar kedua anaknya, Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat tidak menggantikannya, sebab mereka bukan  keturunan raja. Tapi kemudian,  Lambung  Mangkurat  berhasil  mencari  pengganti  raja,  dengan  cara  mengawinkan seorang  putri  Banjar,  Putri  Junjung  Buih  dengan  Raden  Putera,  seorang  pangeran  dari Majapahit.  Setelah  menjadi  raja,  Raden  Putera  memakai  gelar  Pangeran  Suryanata, sementara Lambung Mangkurat memangku jabatan sebagai Mangkubumi. (httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf)
             Setelah Negara Dipa runtuh, muncul Negara Daha  yang  berpusat di Muara Bahan. Saat itu, yang  memerintah  di  Daha  adalah  Maharaja  Sukarama.  Ketika  Sukarama  meninggal,  ia berwasiat  agar  cucunya  Raden  Samudera  yang  menggantikan.  Tapi,  karena   masih  kecil, akhirnya  Raden  Samudera  kalah  bersaing  dengan  pamannya,  Pangeran  Tumenggung  yang juga  berambisi  menjadi  raja.  Atas  nasehat  Mangkubumi  Aria  Tranggana  dan  agar  terhindar dari pembunuhan, Raden Samudera kemudian melarikan diri dari Daha, dengan cara menghilir sungai melalui Muara Bahan ke Serapat, Balandian, dan memutuskan untuk  bersembunyi di daerah  Muara  Barito.  Di  daerah  aliran  Sungai  Barito  ini,  juga  terdapat  beberapa  desa  yang dikepalai oleh  para kepala suku. Di antara desa-desa tersebut adalah Muhur, Tamban, Kuwin, Balitung dan Banjar. Kampung Banjar merupakan perkampungan Melayu yang dibentuk oleh lima buah sungai yakni Sungai Pandai, Sungai Sigaling, Sungai Karamat, Jagabaya dan Sungai Pangeran (Pageran). Semuanya anak Sungai Kuwin. Desa Banjar ini terletak di tengah-tengah pemukiman Oloh Ngaju diBaritoHilir.(httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf)
            Orang-orang  Dayak  Ngaju  menyebut  orang  yang  berbahasa  Melayu  dengan  sebutan Masih. Oleh  karena  itu,  desa  Banjar  tersebut  kemudian  disebut  Banjarmasih,  dan  pemimpinnya disebut Patih Masih. Desa-desa di daerah Barito ini semuanya takluk di bawah Daha dengan kewajiban  membayar  pajak  dan  upeti.  Hingga  suatu  ketika,  Patih  Masih  mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk berunding, agar bisa keluar dari pengaruh Daha, dan menjadikan kawasan mereka merdeka dan besar. (httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf)
            Keputusannya,  mereka  sepakat  mencari  Raden  Samudera,  cucu  Maharaja  Sukarama  yang kabarnya sedang bersembunyi di daerah Balandean, Sarapat. Kemudian, mereka juga sepakat memindahkan  bandar  perdagangan  ke  Banjarmasih.  Selanjutnya,  di  bawah  pimpinan  Raden Samudera, mereka memberontak melawan kerajaan Daha. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-16  M.  Pemberontakan  ini  amat  penting,  karena  telah mengakhiri  eksistensi  Kerajaan  Daha, yang  berarti akhir dari era Hindu. Selanjutnya, masuk  ke  era Islam dan  berdirilah Kerajaan Banjar. (httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf)
            Dalam  sejarah  pemberontakan  itu,  Raden  Samudera  meminta  bantuan  Kerajaan  Demak  di Jawa.  Dalam Hikayat  Banjar  disebutkan,  Raden  Samudera  mengirim  duta  ke  Demak untuk mengadakan  hubungan  kerja  sama  militer.  Utusan  tersebut  adalah  Patih  Balit,  seorang pembesar  Kerajaan  Banjar.  Utusan  menghadap  Sultan  Demak  dengan  seperangkat  hadiah sebagai tanda persahabatan berupa sepikul rotan, seribu buah tudung saji, sepuluh pikul lilin, seribu bongkah damar dan sepuluh biji intan. Pengiring duta kerajaan ini sekitar 400 orang. Demak menyambut baik utusan ini, dan sebagai persyaratan, Demak meminta kepada utusan tersebut, agar Raja Banjar dan semua pembesar mau memeluk agama Islam. Atas bantuan Demak,  Pangeran  Samudera  berhasil  mengalahkan  Pangeran  Tumenggung,  penguasa  Daha, sekaligus menguasai seluruh daerah taklukan Daha. (httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf) 
            Setelah  berhasil  meruntuhkan  dan  menguasai  kerajaan  Daha,  maka  Raden  (Pangeran) Samudera segera menunaikan janji untuk memeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia memakai gelar  Sultan  Suriansyah.  Gelar  lainnya  adalah  Panembahan  atau  Susuhunan  Batu  Habang. Dialah  Raja  Banjar  pertama  yang  memeluk  Islam,  dan sejak  itu,  agama  Islam  berkembang pesat di Kalimantan Selatan. Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) diislamkan oleh wakil penghulu Demak, Khatib Dayan pada tanggal 24 September 1526 M, hari Rabu jam 10 pagi, bertepatan  dengan  8  Zulhijjah  932  H.  Khatib  Dayan  merupakan  utusan  Penghulu  Demak Rahmatullah, dengan tugas melakukan proses pengislaman raja beserta pembesar kerajaan. Khatib  Dayan  bertugas  di  Kerajaan  Banjar  sampai  ia meninggal  dunia,  dan  dikuburkan  di Kuwin Utara.  (httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf)
            Sultan  Suriansyah  telah  membuka  era  baru  di  Kerajaan  Banjar  dengan  masuk  dan berkembangnya agama Islam. Kerajaan Banjar yang dimaksud di sini adalah kerajaan pasca masuknya  agama  Islam.  Sementara  era  Negara  Dipa  dan  Daha   merupakan  era  tersendiri yang  melatarbelakangi  kemunculan  Kerajaan  Banjar.  Diperkirakan,  Suriansyah  meninggal dunia  sekitar  tahun  1550  M.  Seiring  masuknya  kolonial  kulit  putih  Eropa,  Kerajaan  Banjar kemudian dihapuskan oleh Belanda pada 11 Juni 1860. (httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf)
            Dalam perjalanannya, Kerajaan Banjar telah mengalami berbagai kesulitan dan ancaman baik dari eksternal maupun internal, terutama masa-masa setelah datangnya bangsa kolonial. Pusat kerajaan atau Keraton Banjar harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tidak kurang dari 5 (lima) kali. Tetapi tak satupun sisa-sisa tinggalan Keraton Banjar tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi sekarang. Keraton pertama yang disebutkan berada di wilayah Kuin, dan keraton kedua yang berlokasi di Kayutangi atau Teluk Selong, Martapura, tidak ada seorangpun yang dapat menjelaskannya. Kenyataan yang sekarang dapat ditemui di Kuin saat ini hanyalah lokasi Makam Sultan Suriansyah dan para tokoh yang sejaman seperti Khatib Dayan, serta makam keluarga Sultan Suriansyah sendiri. (httpbanuahujungtanah.wordpress.comcategorysejarah-banjar)
            Tidak atau belum ditemukan serta diketahuinya dimana lokasi Keraton Banjar dan bagaimana bentuk arsitekturnya hingga saat ini merupakan pertanyaan penelitian atau  research questions yang menarik untuk dicarikan jawabannya. Sehubungan dengan hal itulah penelitian ini dilaksanakan, dengan melakukan kerja kolaboratif antara sejarah, arkeologi dan arsitektur, maka diharapkan dapat menguak tabir yang selama ini belum ada yang mengangkat dan membicarakannya. (httpbanuahujungtanah.wordpress.comcategorysejarah-banjar)
            Masuk dan berkembangnya islam berlangsung sebelum Kesultanan Banjar berdiri. Hal ini dikarenakan wilayah cikal bakal Kesultanan Banjar yang strategis, yaitu jalur perdagangan dan pelayaran. Melalui pelabuhan dan transaksi perdagangan yang ada, islam di dakwahkan oleh pedagang-pedagang muslim kepada rakyat. (http://www.al-khilafah.org/2011/06/kesultanan-banjar-bagian-khilafah-yang.html)
            Masuknya islam berlangsung dengan damai di kawasan ini melalui tangan pedagang dan para ulama. Dalam salah satu makalah Pra Seminar Sejarah Kalsel (1973) disebutkan, Sunan Giri juga pernah singgah di Pelabuhan Banjar. Sunan Giri melakukan transaksi pedagang dengan warga sekitar dan bahkan memberikan secara gratis barang-barang kepada penduduk yang fakir. (http://www.al-khilafah.org/2011/06/kesultanan-banjar-bagian-khilafah-yang.html)
            Di samping itu juga terdapat ke­terangan mengenai salah seorang pe­muka Kerajaan Daha, yakni Raden Sekar Sungsang yang menimba ilmu kepada Sunan Giri. Melalui jalur inilah Pangeran Samudera mengenai Islam dan kelak mengadakan hubungan dengan Kesultanan Demak. Pangeran Samudera sendiri kemu­dian masuk Islam dan mengganti na­manya menjadi Sultan Suriansyah. Sekaligus menjadi Sultan pertama dalam Sejarah Kesultanan Banjar yang berdiri pada hari Rabu 24 September 1526. Tempat pemerintahan dipusatkan di rumah Patih Masih, daerah perkam­pungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk. Pada tempat ini pula dibangun sebuah Masjid yang berdiri hingga sekarang, dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.(http://www.al-khilafah.org/2011/06/kesultanan-banjar-bagian-khilafah yang.html
            Dalam perjalanannya, Kerajaan Banjar telah mengalami berbagai kesulitan dan ancaman baik dari eksternal maupun internal, terutama masa-masa setelah datangnya bangsa kolonial. Pusat kerajaan atau Keraton Banjar harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tidak kurang dari 5 (lima) kali. Tetapi tak satupun sisa-sisa tinggalan Keraton Banjar tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi sekarang. Keraton pertama yang disebutkan berada di wilayah Kuin, dan keraton kedua yang berlokasi di Kayutangi atau Teluk Selong, Martapura, tidak ada seorangpun yang dapat menjelaskannya. Kenyataan yang sekarang dapat ditemui di Kuin saat ini hanyalah lokasi Makam Sultan Suriansyah dan para tokoh yang sejaman seperti Khatib Dayan, serta makam keluarga Sultan Suriansyah sendiri.
(httpbanuahujungtanah.wordpress.comcategorysejarah-banjar)
Raja-raja Kerajaan Banjar
1.      1526 – 1545: Pangeran Samudra yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, Raja pertama yang memeluk Islam.
2.      1545-1570: Sultan Rahmatullah
3.      1570 - 1595 : Sultan Hidayatullah
4.      1595 - 1620 : Sultan Mustain Billah, Marhum Penambahan yang dikenal sebagai Pangeran Kecil. Sultan inilah yang memindahkan Keraton Ke Kayutangi, Martapura, karena keraton di Kuin yang hancur diserang Belanda pada Tahun 1612.
5.      1620 - 1637 : Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah.
6.      1637 - 1642 : Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah.
7.      1642 - 1660 : Adipati Halid memegang jabatan sebagai Wali Sultan, karena anak Sultan Saidullah, Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa.
8.      1660 - 1663 : Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan hingga 1663, kemudian Pangeran Adipati Anum (Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan kekuasaan ke Banjarmasin.
9.      1663 - 1679 : Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan memindahkan pusat pemerintahan Ke Banjarmasin bergelar Sultan Agung.
10.  1679 - 1700 : Sultan Tahlilullah berkuasa.
11.  1700 - 1734 : Sultan Tahmidullah bergelar Sultan Kuning.
12.  1734 - 1759 : Pangeran Tamjid bin Sultan Agung, yang bergelar Sultan Tamjidillah.
13.  1759 - 1761 : Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah.
14.  1761 - 1801 : Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa tetapi memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah.
15.  1801 - 1825 : Sultan Suleman Al Mutamidullah bin Sultan Tahmidullah.
16.  1825 - 1857 : Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman.
17.  1857 - 1859 : Pangeran Tamjidillah.
18.  1859 - 1862 : Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu'mina
19.  1862 - 1905 : Sultan Muhammad Seman yang merupakan Raja terakhir dari Kerajaan Banjar
(http://kadahakunjua.blogspot.com/2009/02/cikal-bakal-kerajaan-banjar-di.html)

Masa kejayaan

            Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.
            Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura (Arosbaya) dan Surabaya, tetapi gagal karena mendapat perlawanan yang sengit.
            Sultan Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.
            Seiring dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.
            Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
            Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga harus menghadapi kekuatan Belanda. Pada tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram mengadakan perdamaian setelah hubungan yang tegang selama bertahun-tahun. Perang Makassar (1660-1669) menyebabkan banyak pedagang pindah dari Somba Opu, pelabuhan kesultanan Gowa ke Banjarmasin. Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar disebut doit.
            Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura pada lokasi Tanjung Sambar (Ketapang) dan sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan Pasir pada lokasi Tanjung Aru. Pada daerah-daerah pecahannya, rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.
            Kesultanan Banjarmasin merupakan kerajaan terkuat di pulau Kalimantan. Sultan Banjar menggunakan perkakas kerajaan yang bergaya Hindu. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Banjar)
Kehidupan Sosial Budaya
            Dalam  kehidupan  masyarakat  Banjar  terdapat  susunan dan  peranan  sosial  yang  berbentuk limas (lapisan).  Lapisan  paling  atas  adalah  golongan  penguasa  yang  merupakan golongan minoritas.  Mereka  adalah  kaum  bangsawan  atau  “bubuhan  raja-raja”.  Penghargaan masyarakat  terhadap  golongan  bangsawan  ini  sesuai  dengan  derajat  kebangasawanannya. Mereka, secara turun-temurun, menjadi golongan terhormat dan berdarah bangsawan, serta mempunyai  gelar-gelar  seperti  sultan,  pangeran,  ratu,  gusti,  andin,  antung,  dan  nanang. Golongan ini mempunyai hak memungut cukai dari hasil bumi, hasil pertanian, perikanan dan lain-lain. (httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf)
            Golongan kedua adalah pejabat kerajaan, ulama-ulama, mufti, dan penghulu. Golongan ini langsung berhubungan dengan penduduk. Segala macam barang yang mereka beli dari masyarakat dan di bayar dengan uang. Mufti sebagai pejabat formal mengurus segala perkara hukum pada tingkat tinggi. Sementara ulama-ulama menyampaikan ajaran agama islam. (httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf)
            Golongan ketiga merupakan golongan terbesar, yaitu rakyat biasa. Mereka itu adalah golongan yang hidup dari bertani dan perdagangan kecil-kecilan, nelayan, kerajinan, industri, dan pertukangan. (httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf)
            Golongan  bawah  adalah  golongan pandeling. Golongan pandeling adalah  mereka  yang kehilangan  setengah  kemerdekaan  akibat  hutang-hutang  yang  tak  dapat  mereka  bayar. Biasanya,  merekalah  yang  menjalankan  perdagangan  dari  golongan  bangsawan  atau pedagang-pedangan  kaya.  Golongan  ini  berakhir  pada  abad  ke-19,   seiring  dengan dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda. (httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf)
            Berkaitan dengan kehidupan budaya, telah berkembang beberapa corak seni dan sastra. Saat itu,  Banjar  telah  memiliki  gamelan  yang  dipukul  dengan  lemah  lembut,  seni  sastra berkembang  dengan  menggunakan  huruf  Arab  Melayu  (Jawi),  dan  kemungkinan,  juga  telah berkembang  suatu  seni,  hasil  perpaduan  antara  tonil Melayu  dan  cerita  Seribu  Satu  Malam. Seni  ukir  berkembang  karena  adanya  kebiasaan  para  bangsawan  dan  orang  kaya  untukmembuat rumah secara mewah, yang dipenuhi dengan ukiran indah. Corak seni lain yang jugatelah berkembang dan amat kuat dipengaruhi kebudayaan Islam adalah mahidin dan balamut. Ini  semua  menunjukkan  bahwa,  di  Kerajaan  Banjar  telah  berkembang  suatu  seni  budaya dengan coraknya yang khas. (httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf)









Daftar Rujukan
httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf (online), diakses tanggal 16 April 2013.
http://www.al-khilafah.org/2011/06/kesultanan-banjar-bagian-khilafah-yang.html  (online), diakses tanggal 15 April 2013
httpbanuahujungtanah.wordpress.comcategorysejarah-banjar (online), diakses tanggal 15 April 2013
Khairuzzaini. 2011. Islamisasi Kerajaan Banjar (analisis hubungan Kerajaan Demak dengan Kerajaan Banjar atas masuknya islam di Kalimantan Selatan). Tesis (httpdigilib.uin-suka.ac.id69011BAB%20I%2CV.pdf) (online). Diakses tanggal 16 April 2013
http://kadahakunjua.blogspot.com/2009/02/cikal-bakal-kerajaan-banjar-di.html(online) diakses tanggal 16 April 2013
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Banjar (online) diakses tanggal 16 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar